Dalam sejarah perjuangan bangsa Indonesia, bahasa Indonesia telah terbukti menyatukan berbagai golongan dan etnis ke dalam satu kesatuan bangsa Indonesia. Kata “Indonesia” menjadi identitas suatu wilayah, bangsa dan bahasa, yaitu (1) tanah Indonesia, (2) bangsa Indonesia, dan (3) bahasa Indonesia. Identitas itu merupakan sebuah simbol dan cerminan jati diri masyarakatnya. Identitas keindonesiaan melalui sebuah bahasa tercermin dari “keindonesiaan” bahasa yang dipakai penuturnya. Indonesia, bila dilihat dari komposisi bahasanya masih memiliki ratusan kata serapan yang diambil dari bahasa asing (terutama Inggris dan Belanda) yang sejatinya tidak perlu diserap karena sudah memiliki padanan. Pemadanan kosa kata dan istilah asing memang dilakukan lewat penerjemahan, penyerapan, atau gabungan penerjemahan dan penyerapan. Akan tetapi kalau mau jujur, istilah asing yang sudah ada padanannya dalam bahasa Indonesia seharusnya tidak perlu lagi dilakukan penyerapan, terutama dengan penyesuaian ejaan karena hal ini jelas-jelas “menzalimi” bahasa Indonesia itu sendiri. Kata-kata yang bercita rasa Indonesia terus terang kurang disukai daripada produk kosa kata asing, karena orang Indonesia lebih suka membuat analogi penyerapan sendiri tanpa mengetahui kalau istilah yang “diserap sendiri” itu sudah ada padanannya, selain dengan penyerapan yang “coba-coba” namun laris di pasaran. Kezaliman inilah yang terus terang menghambat Pusat Bahasa melakukan percepatan dalam memartabatkan bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional bahkan sebagai bahasa kawasan.
Bahasa Indonesia terdiri atas ratusan kata serapan yang diambil langsung dari
bahasa asing dalam bentuk hanya dengan penyesuaian lafal dan ejaan atau tanpa
penyesuaian lafal tapi ejaannya yang disesuaikan. Hal ini dimaksudkan untuk
meningkatkan ketersalinan bahasa Indonesia secara timbal balik mengingat
keperluan masa depan (Pusat Bahasa, 2006:6). Pengayaan kosa kata melalui
penyerapan dimaksud di atas sah-sah saja bila ketersediaan padanan kata asing
untuk kosa kata bahasa Indonesia memang sudah tidak ada lagi. Namun, alangkah
naifnya orang Indonesia jika “boro-boro” memadankan kata success dengan sukses;
imagination dengan imajinasi; dan creativity dengan kreativitas. Berpijak pada
keadaan ini apakah sikap nasionalisme bahasa sungguh sudah terkikis atau si
pemakai bahasa memang tidak tahu apa padanan kosa kata asing dalam bahasa
Indonesia. Pedoman pembentukan istilah melalui penyerapan dengan penyesuaian
ejaan atau lafal terus terang telah meninabobokan orang Indonesia terhadap bahasa
mereka sendiri. Bayangkan orang dengan mudah memadankan imbuhan –ation
dalam bahasa Inggris dengan –asi dalam bahasa Indonesia; lalu –ity dengan –itas
serta masih banyak lagi imbuhan-imbuhan lain yang disamaratakan pola
penyesuaian ejaan atau lafalnya.
Saat ini, contoh padan-serap dari bahasa asing, terutama Inggris, lebih akrab
di telinga anak usia sekolah dibanding kata Indonesianya. Jadi, anak usia sekolah
sekarang belajar kosa kata (dengan konsep pembelajaran bahasa di sekolah) adalah
bahasa Indonesia yang sudah “gado-gado”. Padanan kata berhasil, daya khayal dan
daya cipta untuk ketiga kosa kata Inggris yang dicetak miring di atas tadi boleh
dibilang asing bagi mereka. Jadi, sekarang siapa yang salah, pelaku pendidikan kah,
peserta didik kah, atau pihak perencana bahasa. Tak patut menyalahkan siapa-siapa
karena memang serba salah.
Kalau boleh dibuat pemeringkatan pemakaian kosa kata, frekuensi
pemakaian kosa kata serapan yang sudah ada padanan dalam bahasa Indonesia jauh
lebih tinggi dibanding dengan kosa kata yang memang harus diserap karena memang
belum memiliki padanan sama sekali. Jadi kosa kata bahasa Indonesia sekarang
dalam istilah gaulnya sudah “nggak gue banget lagi gitu loh”.
Gejala inilah yang mendasari pemikiran pada makalah singkat ini yang ingin
menilik “kesetiaan mendua” orang Indonesia dengan bahasanya. Tulisan ini tidak
akan mengutak-atik kosa kata serapan yang diserap dari bahasa asing kalau kata itu
memang tidak memiliki padanan dalam bahasa Indonesia. Sebut saja misalnya, radio,
televisi, komputer, dan kata-kata asing lainnya yang memang disesuaikan ejaan dan
lafalnya dengan lidah orang Indonesia. Jadi, yang dibahas di sini adalah kata-kata
serapan asing yang jelas-jelas “menzalimi” kosa kata bahasa Indonesia dengan segala
bentuknya yang centang-perenang.
Pemakaian bahasa memang sedikit banyaknya dipengaruhi oleh rezim
pemerintah yang berkuasa. Negara kita, paling tidak telah mengalami tiga rezim yang
sama-sama punya andil besar dalam pemerkembangan kosa kata bahasa Indonesia.
Pada masa orde lama misalnya, bahasa Indonesia dipandang sebagai penanda jati
diri untuk bangsa yang baru terbentuk sebagai sikap politis kebangsaan masyarakat
Indonesia. Dalam konteks itu, jati diri keindonesiaan–termasuk bahasa Indonesia–
menjadi laris digunakan. Selain sebagai tandingan untuk istilah yang berbau
kebelandaan, bahasa Indonesia juga dipakai sebagai sebutan istilah untuk membakar
semangat pemuda Indonesia yang sedang mempertahankan kemerdekaan yang baru
diraih. Sebagai contoh, merdeka atau mati; KNIL anjing Belanda; Biar nyawa
melayang, kau tetap Indonesiaku; serta masih banyak lagi istilah-istilah lain yang
hampir luput disisipi kata-kata asing. Bandingkan dengan protes-protes mahasiswa
sekarang yang membentang spanduk dengan tulisan Peace for freedom; Go to Hell
Israel; Save our planet; dan masih banyak lagi tebaran-tebaran istilah asing yang
dipakai oleh pemuda dan mahasiswa Indonesia sekarang sebagai bentuk protes
ketidakpuasan dengan pemerintah.
Jadi, bahasa Indonesia pada masa orde lama memang secara politis
dikondisikan untuk membangkitkan rasa keindonesiaan rakyat Indonesia. Banyak
anak pribumi yang pandai berbahasa Belanda karena belajar di sekolah orang
Belanda. Tidak sama halnya dengan generasi sekarang yang tak satu pun guru di
sekolahnya orang Inggris tapi seperti sudah pandai beringgris ria. Beruntunglah
generasi era 40-50an yang pemimpinnya tetap kuat dengan pendirian identitas
bangsa, yakni orang Indonesia harus berbahasa Indonesia. Bukan orang Indonesia
berbahasa Indonesia dengan cita rasa asing.
Setelah era 60-an perkembangan bahasa Indonesia mengalami perubahan
seiring dengan pergantian rezim. Ketika rezim orde baru berkuasa bahasa pun
dijadikan kendaraan politik untuk mengendalikan kepentingan ideologi dan
kekuasaan sang penguasa. Ada satu pergeseran stilistika dalam berbahasa dibanding
dengan rezim sebelumnya. Kalau pada masa orde lama bahasanya lebih
mengobarkan semangat dan membangun jiwa kebangsaan, namun pada masa orde
baru bahasanya lebih santun dan halus demi kepentingan stabilitas. Sekadar
bernostalgia pada belasan tahun ke belakang, kita pernah dikuasai oleh istilah-istilah
klise, seperti dosa diperhalus menjadi ‘tidak etis’; bredel dikaburkan dengan
‘pembatalan SIUPP’; memerintahkan diganti ‘memberikan petunjuk’; zinah lebih
masyhur dengan ‘selingkuh’; penggusuran diganti dengan ‘penertiban’; serta masih
banyak lagi penamaan-penamaan lain yang seolah-olah itu tidak mampu
memunculkan dampak atas perbuatan atau perlakuan yang dilakoni.
Gejala bahasa seperti inilah yang menjadi payung politik penguasa untuk
meredam gejolak di bawah supaya kursi kekuasaan tetap langgeng. Selama dalam
kurun waktu tiga dekade itulah masyarakat Indonesia diajarkan “mendua” dengan
bahasanya. Perilaku mendua dalam berbahasa pada masa itu sudah mulai disusupi
pada tataran leksikal. Artinya, rakyat sudah mafhum dengan meta-bahasa yang
dipopulerkan pemerintah yang oleh para pakar bahasa gejala itu dinamakan dengan
istilah eufemisme. Karena dalam eufimisme itu, menurut Wijana (2003:219),
kekuatan-kekuatan yang terdapat dalam sebuah kata ada yang berkonotasi negatif
dan positif yang bertujuan untuk keperluan yang berbeda-beda sehingga kata
dimaksud membawa kepada konsekuensi perubahan makna kosa kata itu sendiri.
Ada kata-kata yang semula bermakna netral kemudian bermakna negatif atau
sebaliknya menjadi positif. Begitulah, aroma eufimisme pada era orde baru yang
kadang manis di bibir tapi menusuk dari belakang.
Selanjutnya, angin kekuasaan pun berubah seiring dengan bergulirnya era
reformasi. Pada era ini kebebasan berekspresi seolah-olah menghadapi angin baru
yang sulit dibendung kedatangannya dari semua tatanan bidang, tak terkecuali
bahasa yang memang menjadi alat pengantarnya. Dalam berbahasa pun para
pejabat publik melaju dengan enteng menciptakan istilah-istilah sendiri dengan dalih
kebebasan berpendapat untuk berujar dan berwacana. Pada titik ini pulalah bangsa
Indonesia mulai tergerus jati diri keindonesiaannya. Orang Indonesia dikenal brutal
dan akrab dengan kekerasan. Namun, the show must go on; lagi-lagi itu bahasa
pejabat yang selalu didengungkan ke telinga kaum grass root (dua istilah berhuruf
miring terakhir ini memang muncul dari mulut pejabat yang mengaku reformis yang
seolah-olah juga mau mereformasi total bahasanya mereka). Kebebasan
berpendapat (baca: berbahasa) pun menjadi barang berharga, tetapi sekaligus
seperti barang murahan karena semua tatanan nilai leksikal dan morfologis sebuah
bahasa dibongkar pasang sedemikian rupa demi gengsi dan lagi-lagi kebebasan
berpendapat (fakta dari gejala ini bisa dilihat pada koran-koran terkemuka di negeri
ini).
Selama perkembangannya, bahasa Indonesia dari segi strukturnya tidak
banyak mengalami perubahan karena struktur fonologis dan struktur gramatikalnya
cenderung stabil. Perubahan bahasa yang sungguh mencolok terdapat dalam bidang
kosa kata. Pasang surut perkembangan kosa kata bahasa Indonesia dalam kurun
waktu sepuluh tahun terakhir menurut Kridalaksana (1995) hanya berkisar pada
perubahan makna kata dan kelompok kata, hilangnya kata atau kelompok kata,
munculnya kata dan kelompok kata baru, hilangnya idiom lama, munculnya idiom
baru, munculnya kembali kata atau kelompok kata lama, meluasnya pemakaian
singkatan dan akronim, serta leksikalisasi singkatan dan akronim.
Para bahasawan sesungguhnya berusaha untuk ikut menciptakan atau
memperkenalkan ungkapan-ungkapan baru dengan nuansa makna yang tepat.
Namun kalangan bahasawan kalah cepat dengan media massa karena untuk
menciptakan istilah baru itu bagi para munsyi membutuhkan waktu yang agak lama
selain memang harus lebih teliti dan lebih cermat. Di sinilah kepiawaian pihak media
massa, selain alat yang mereka pakai untuk memopulerkan istilah baru itu cepat
sampai kepada masyarakat, kata bentukan hasil ramuan mereka sendiri ini pun laris
manis dipakai oleh masyarakat umum, mulai dari pejabat menteri sampai kepada
pengusaha kain rentang. Jadi ada sebuah pemeo, bahasanya dibuat oleh wartawan
lalu dipopulerkan oleh pejabat publik dan direkam-tulis oleh pengusaha sablon untuk
dipasang di setiap sudut jalan.
Untuk menanggulangi hilangnya identitas bahasa Indonesia yang murni,
alangkah bijaksananya bila guru-guru di sekolah tetap setia menggunakan kata-kata
Indonesia asli (bukan sinonim serapan). Berikut ada beberapa contoh kosa kata
Indonesia sinonim serapan yang sudah ada padanannya dalam kosa kata Indonesia
asli namun sepertinya kalah bersaing dengan sinonim serapan asing. Kata-kata ini
dipindai secara acak dari beberapa media cetak nasional (Kompas, Media Indonesia,
Republika).
Bahasa Indonesia terdiri atas ratusan kata serapan yang diambil langsung dari
bahasa asing dalam bentuk hanya dengan penyesuaian lafal dan ejaan atau tanpa
penyesuaian lafal tapi ejaannya yang disesuaikan. Hal ini dimaksudkan untuk
meningkatkan ketersalinan bahasa Indonesia secara timbal balik mengingat
keperluan masa depan (Pusat Bahasa, 2006:6). Pengayaan kosa kata melalui
penyerapan dimaksud di atas sah-sah saja bila ketersediaan padanan kata asing
untuk kosa kata bahasa Indonesia memang sudah tidak ada lagi. Namun, alangkah
naifnya orang Indonesia jika “boro-boro” memadankan kata success dengan sukses;
imagination dengan imajinasi; dan creativity dengan kreativitas. Berpijak pada
keadaan ini apakah sikap nasionalisme bahasa sungguh sudah terkikis atau si
pemakai bahasa memang tidak tahu apa padanan kosa kata asing dalam bahasa
Indonesia. Pedoman pembentukan istilah melalui penyerapan dengan penyesuaian
ejaan atau lafal terus terang telah meninabobokan orang Indonesia terhadap bahasa
mereka sendiri. Bayangkan orang dengan mudah memadankan imbuhan –ation
dalam bahasa Inggris dengan –asi dalam bahasa Indonesia; lalu –ity dengan –itas
serta masih banyak lagi imbuhan-imbuhan lain yang disamaratakan pola
penyesuaian ejaan atau lafalnya.
Saat ini, contoh padan-serap dari bahasa asing, terutama Inggris, lebih akrab
di telinga anak usia sekolah dibanding kata Indonesianya. Jadi, anak usia sekolah
sekarang belajar kosa kata (dengan konsep pembelajaran bahasa di sekolah) adalah
bahasa Indonesia yang sudah “gado-gado”. Padanan kata berhasil, daya khayal dan
daya cipta untuk ketiga kosa kata Inggris yang dicetak miring di atas tadi boleh
dibilang asing bagi mereka. Jadi, sekarang siapa yang salah, pelaku pendidikan kah,
peserta didik kah, atau pihak perencana bahasa. Tak patut menyalahkan siapa-siapa
karena memang serba salah.
Kalau boleh dibuat pemeringkatan pemakaian kosa kata, frekuensi
pemakaian kosa kata serapan yang sudah ada padanan dalam bahasa Indonesia jauh
lebih tinggi dibanding dengan kosa kata yang memang harus diserap karena memang
belum memiliki padanan sama sekali. Jadi kosa kata bahasa Indonesia sekarang
dalam istilah gaulnya sudah “nggak gue banget lagi gitu loh”.
Gejala inilah yang mendasari pemikiran pada makalah singkat ini yang ingin
menilik “kesetiaan mendua” orang Indonesia dengan bahasanya. Tulisan ini tidak
akan mengutak-atik kosa kata serapan yang diserap dari bahasa asing kalau kata itu
memang tidak memiliki padanan dalam bahasa Indonesia. Sebut saja misalnya, radio,
televisi, komputer, dan kata-kata asing lainnya yang memang disesuaikan ejaan dan
lafalnya dengan lidah orang Indonesia. Jadi, yang dibahas di sini adalah kata-kata
serapan asing yang jelas-jelas “menzalimi” kosa kata bahasa Indonesia dengan segala
bentuknya yang centang-perenang.
Pemakaian bahasa memang sedikit banyaknya dipengaruhi oleh rezim
pemerintah yang berkuasa. Negara kita, paling tidak telah mengalami tiga rezim yang
sama-sama punya andil besar dalam pemerkembangan kosa kata bahasa Indonesia.
Pada masa orde lama misalnya, bahasa Indonesia dipandang sebagai penanda jati
diri untuk bangsa yang baru terbentuk sebagai sikap politis kebangsaan masyarakat
Indonesia. Dalam konteks itu, jati diri keindonesiaan–termasuk bahasa Indonesia–
menjadi laris digunakan. Selain sebagai tandingan untuk istilah yang berbau
kebelandaan, bahasa Indonesia juga dipakai sebagai sebutan istilah untuk membakar
semangat pemuda Indonesia yang sedang mempertahankan kemerdekaan yang baru
diraih. Sebagai contoh, merdeka atau mati; KNIL anjing Belanda; Biar nyawa
melayang, kau tetap Indonesiaku; serta masih banyak lagi istilah-istilah lain yang
hampir luput disisipi kata-kata asing. Bandingkan dengan protes-protes mahasiswa
sekarang yang membentang spanduk dengan tulisan Peace for freedom; Go to Hell
Israel; Save our planet; dan masih banyak lagi tebaran-tebaran istilah asing yang
dipakai oleh pemuda dan mahasiswa Indonesia sekarang sebagai bentuk protes
ketidakpuasan dengan pemerintah.
Jadi, bahasa Indonesia pada masa orde lama memang secara politis
dikondisikan untuk membangkitkan rasa keindonesiaan rakyat Indonesia. Banyak
anak pribumi yang pandai berbahasa Belanda karena belajar di sekolah orang
Belanda. Tidak sama halnya dengan generasi sekarang yang tak satu pun guru di
sekolahnya orang Inggris tapi seperti sudah pandai beringgris ria. Beruntunglah
generasi era 40-50an yang pemimpinnya tetap kuat dengan pendirian identitas
bangsa, yakni orang Indonesia harus berbahasa Indonesia. Bukan orang Indonesia
berbahasa Indonesia dengan cita rasa asing.
Setelah era 60-an perkembangan bahasa Indonesia mengalami perubahan
seiring dengan pergantian rezim. Ketika rezim orde baru berkuasa bahasa pun
dijadikan kendaraan politik untuk mengendalikan kepentingan ideologi dan
kekuasaan sang penguasa. Ada satu pergeseran stilistika dalam berbahasa dibanding
dengan rezim sebelumnya. Kalau pada masa orde lama bahasanya lebih
mengobarkan semangat dan membangun jiwa kebangsaan, namun pada masa orde
baru bahasanya lebih santun dan halus demi kepentingan stabilitas. Sekadar
bernostalgia pada belasan tahun ke belakang, kita pernah dikuasai oleh istilah-istilah
klise, seperti dosa diperhalus menjadi ‘tidak etis’; bredel dikaburkan dengan
‘pembatalan SIUPP’; memerintahkan diganti ‘memberikan petunjuk’; zinah lebih
masyhur dengan ‘selingkuh’; penggusuran diganti dengan ‘penertiban’; serta masih
banyak lagi penamaan-penamaan lain yang seolah-olah itu tidak mampu
memunculkan dampak atas perbuatan atau perlakuan yang dilakoni.
Gejala bahasa seperti inilah yang menjadi payung politik penguasa untuk
meredam gejolak di bawah supaya kursi kekuasaan tetap langgeng. Selama dalam
kurun waktu tiga dekade itulah masyarakat Indonesia diajarkan “mendua” dengan
bahasanya. Perilaku mendua dalam berbahasa pada masa itu sudah mulai disusupi
pada tataran leksikal. Artinya, rakyat sudah mafhum dengan meta-bahasa yang
dipopulerkan pemerintah yang oleh para pakar bahasa gejala itu dinamakan dengan
istilah eufemisme. Karena dalam eufimisme itu, menurut Wijana (2003:219),
kekuatan-kekuatan yang terdapat dalam sebuah kata ada yang berkonotasi negatif
dan positif yang bertujuan untuk keperluan yang berbeda-beda sehingga kata
dimaksud membawa kepada konsekuensi perubahan makna kosa kata itu sendiri.
Ada kata-kata yang semula bermakna netral kemudian bermakna negatif atau
sebaliknya menjadi positif. Begitulah, aroma eufimisme pada era orde baru yang
kadang manis di bibir tapi menusuk dari belakang.
Selanjutnya, angin kekuasaan pun berubah seiring dengan bergulirnya era
reformasi. Pada era ini kebebasan berekspresi seolah-olah menghadapi angin baru
yang sulit dibendung kedatangannya dari semua tatanan bidang, tak terkecuali
bahasa yang memang menjadi alat pengantarnya. Dalam berbahasa pun para
pejabat publik melaju dengan enteng menciptakan istilah-istilah sendiri dengan dalih
kebebasan berpendapat untuk berujar dan berwacana. Pada titik ini pulalah bangsa
Indonesia mulai tergerus jati diri keindonesiaannya. Orang Indonesia dikenal brutal
dan akrab dengan kekerasan. Namun, the show must go on; lagi-lagi itu bahasa
pejabat yang selalu didengungkan ke telinga kaum grass root (dua istilah berhuruf
miring terakhir ini memang muncul dari mulut pejabat yang mengaku reformis yang
seolah-olah juga mau mereformasi total bahasanya mereka). Kebebasan
berpendapat (baca: berbahasa) pun menjadi barang berharga, tetapi sekaligus
seperti barang murahan karena semua tatanan nilai leksikal dan morfologis sebuah
bahasa dibongkar pasang sedemikian rupa demi gengsi dan lagi-lagi kebebasan
berpendapat (fakta dari gejala ini bisa dilihat pada koran-koran terkemuka di negeri
ini).
Selama perkembangannya, bahasa Indonesia dari segi strukturnya tidak
banyak mengalami perubahan karena struktur fonologis dan struktur gramatikalnya
cenderung stabil. Perubahan bahasa yang sungguh mencolok terdapat dalam bidang
kosa kata. Pasang surut perkembangan kosa kata bahasa Indonesia dalam kurun
waktu sepuluh tahun terakhir menurut Kridalaksana (1995) hanya berkisar pada
perubahan makna kata dan kelompok kata, hilangnya kata atau kelompok kata,
munculnya kata dan kelompok kata baru, hilangnya idiom lama, munculnya idiom
baru, munculnya kembali kata atau kelompok kata lama, meluasnya pemakaian
singkatan dan akronim, serta leksikalisasi singkatan dan akronim.
Para bahasawan sesungguhnya berusaha untuk ikut menciptakan atau
memperkenalkan ungkapan-ungkapan baru dengan nuansa makna yang tepat.
Namun kalangan bahasawan kalah cepat dengan media massa karena untuk
menciptakan istilah baru itu bagi para munsyi membutuhkan waktu yang agak lama
selain memang harus lebih teliti dan lebih cermat. Di sinilah kepiawaian pihak media
massa, selain alat yang mereka pakai untuk memopulerkan istilah baru itu cepat
sampai kepada masyarakat, kata bentukan hasil ramuan mereka sendiri ini pun laris
manis dipakai oleh masyarakat umum, mulai dari pejabat menteri sampai kepada
pengusaha kain rentang. Jadi ada sebuah pemeo, bahasanya dibuat oleh wartawan
lalu dipopulerkan oleh pejabat publik dan direkam-tulis oleh pengusaha sablon untuk
dipasang di setiap sudut jalan.
Untuk menanggulangi hilangnya identitas bahasa Indonesia yang murni,
alangkah bijaksananya bila guru-guru di sekolah tetap setia menggunakan kata-kata
Indonesia asli (bukan sinonim serapan). Berikut ada beberapa contoh kosa kata
Indonesia sinonim serapan yang sudah ada padanannya dalam kosa kata Indonesia
asli namun sepertinya kalah bersaing dengan sinonim serapan asing. Kata-kata ini
dipindai secara acak dari beberapa media cetak nasional (Kompas, Media Indonesia,
Republika).
Dari data sederhana di atas, tampaknya inilah waktunya untuk “kembali ke
bahasa Indonesia yang murni” sebelum kepada “yang baik dan yang benar” demi
memartabatkannya di kampung sendiri. Bagaimana ia bisa menjadi bahasa kawasan
kalau di tanah sendiri sudah terpinggirkan. Ini yang menjadi tugas besar semua
tenaga kebahasaan Pusat Bahasa di seluruh Indonesia melalui balai dan kantornya
supaya lebih giat mengembangkan kosa kata Indonesia yang bukan sinonim serapan
kepada masyarakat karena selama ini yang lebih giat melakukan pengembangan
bahasa adalah para wartawan dan teman-teman dari media.
bahasa Indonesia yang murni” sebelum kepada “yang baik dan yang benar” demi
memartabatkannya di kampung sendiri. Bagaimana ia bisa menjadi bahasa kawasan
kalau di tanah sendiri sudah terpinggirkan. Ini yang menjadi tugas besar semua
tenaga kebahasaan Pusat Bahasa di seluruh Indonesia melalui balai dan kantornya
supaya lebih giat mengembangkan kosa kata Indonesia yang bukan sinonim serapan
kepada masyarakat karena selama ini yang lebih giat melakukan pengembangan
bahasa adalah para wartawan dan teman-teman dari media.
centang-perenang yang sakit identitas, maka itu memang betul dan pernyataan itu
hendaknya dianggap sebagai suatu bentuk apresiasi. Mengutip pernyataan Anderson
(dalam Munsyi 2005), seorang profesor pengamat politik Indonesia di Universitas
Cornell, tentang bahasa politik Indonesia sebagai “a hodge-podge of irrational
gobble-dygook”, bahasa capcay yang berbelit-belit dan membingungkan lagi tidak
masuk akal.
Mari kita buktikan pendapat sang guru besar itu dengan mencoba memindai
serta menyimak koran yang paling berpengaruh di Indonesia. Kompas, koran yang
setiap tahun memberikan hadiah sastra kepada para cerpenis yang karyanya dimuat
di rubrik kebudayaan, sengaja dijumput beberapa tulisannya di sini. Kita ambil
terbitan 23 Oktober 2007 dimulai dari halaman paling depan. Pada judul tersaji
“Presiden: Perjuangkan Kemerdekaan Palestina”, pada kalimat isi beritanya terbaca
“Presiden Yudhoyono dalam keterangan pers bersama Presiden Palestina Mahmoud
Abbas seusai pertemuan one on one di Istana Merdeka …”. Pada halaman 5, judul
berita tersaji “Daerah Pemilihan, dari Area Pertarungan ke Daerah
Pertanggungjawaban”, pada isi tulisan tersua “Petitions committee itu terdiri atas 13
anggota dari berbagai parpol yang bakal mengadvokasi keberatan rakyat”. Di
halaman 7, pada judul “China Mengandalkan Kekuatan Lunak”, dalam isi beritanya
terdapat kalimat “Ini tidak berarti bahwa China telah mencapai tingkat kekuatan
sebuah Super Power”. Di halaman 18 pada berita “Mencari Obat yang Tepat untuk
Dunia Penerbangan Kita yang Sakit”, telah dijumpai kalimat “Sistem penegakan
peraturan yang terkait langsung flying safety di Indonesia sangat tidak efektif”.
Dari keempat contoh kalimat di atas terbersit keingintahuan pembaca apakah
redaktur tidak tahu padanan Indonesia atas ketiga kata asing yang bercetak miring
itu atau memang sengaja tak mau menyebutnya dengan istilah Indonesia. Padahal
istilah one to one bisa menjadi sederhana dengan “empat mata”; petitions
committee bisa menjadi “panitia petisi”; dan super power sudah lebih luwes dengan
sebutan “adidaya”, serta flying safety sudah jelas terjemahan dari “keselamatan
penerbangan”.
Ada yang lebih hebat lagi, masih pada kolom berita Kompas terbitan yang
sama. Pada halaman 6 dalam tulisan berjudul “Mencari Model Rekonsiliasi Aceh”, di
situ ditemukan kalimat “Model Timor Leste mensyaratkan pemaafan dengan
secepatnya melupakan (to forgive and forget at once)”; selanjutnya di akhir paragraf
yang lain tertulis “… rekonsiliasi sebenarnya bukan sekedar jalan menuju proses
maaf-memaafkan, tetapi lebih jauh, penggeledahan masa lalu untuk mengetahui
kebenaran (seeking the truth of the past time)”. Di halaman 15 dalam berita
“Silaturahmi politik Yusuf Kalla” terbaca kalimat ini: “Padahal legitimasi politik
memerlukan pula unsur kepercayaan (belief) atau keutamaan (virtue) berupa nilainilai
kehidupan yang membuat kehidupan politik lebih etis …”.
Kenapa kalimat-kalimat di atas dikatakan lebih hebat, karena si redaktur
menganggap pembaca Indonesia lebih mengenal dan mafhum dengan istilah dalam
kurung yang bercetak miring itu daripada bahasa Indonesianya. Semua pembaca
tahu bila ada kata atau frase dalam kurung menandai sebagai penjelas tambahan
untuk kata atau frase yang di depannya. Namun, hal yang menyedihkan kenapa
bahasa Inggris yang menjadi penjelas, bukankah pembacanya orang Indonesia.
Lain lagi dengan yang berikut, yakni contoh yang sangat tak berkaidah alias
memasang-padankan imbuhan asing dengan kata Indonesia atau sebaliknya dengan
sesuka hati. Masih pada koran Kompas (terbitan tanggal yang sama) sebagai
percontoh karena dianggap sebagai media cetak terdepan dari segi pengguna bahasa
Indonesia yang benar. Di halaman 9 dengan judul berita “Brasil Sindir IMF soal
Kekacauan Ekonomi AS”, subjudulnya tertulis “Negara Maju Menjadi Contoh Buruk
Mismanajemen”. Di halaman 15 dengan judul berita “Tak Bisa Lepas Tangan:
Presiden secara Konstitusional Bertanggung Jawab” telah tersua kalimat ini, “Kalau
Presiden Yudhoyono meloloskan orang-orang yang memiliki rekam jejak melakukan
korupsi, itu berarti ada inkonsistensi dengan komitmen Presiden”. Kompas terbitan
25 Oktober 2007 halaman 13 dengan judul berita “Misi Discovery Hadapi Tantangan”
yang di dalamnya terdapat kalimat “Misi utama Discovery ialah mengirimkan modul
Harmony yang merupakan kunci untuk menginstall laboratorium Eropa …”. Contoh
kata bercetak tebal di atas memperlihatkan––apa yang dijuluki oleh Munsyi
(2005:44)––kalau bahasa Indonesia merupakan bahasa gado-gado, bahasa capcay,
bahasa tinutuan, yang berasal dari kesalahan-kesalahan centang-perenang belaka,
dan sekaligus membenarkan pendapat sang profesor Anderson di atas tadi.
Kecentang-perenangan bahasa Indonesia pun lengkap setelah dicampur aduk
seenaknya oleh orang Indonesia sendiri, yang kamus bahasa Indonesia maupun
kamus bahasa Inggris tidak pernah memuat lema kata berikut. Kata berikut
menggelitik namun ia dapat mengundang daya tarik masyarakat pemakai bahasa
untuk mencipta kata serupa. Judul berita Kompas 23 Oktober 2007 halaman 27
tertulis “Angkotway di Margonda untuk Kurangi Kemacetan”. Bayangkan daya cipta
bahasa orang Indonesia yang memadankan akronim angkot dengan kata way untuk
mengistilahkan “jalur angkutan kota” dalam bahasa Inggris. Kata itu mungkin
diilhami dari kata busway, yang jangan-jangan nanti mengilhami pembaca juga untuk
membentuk kata-kata seperti bajajway, motorway, dan way-way yang lain. Dari
fenomena ini karuan timbul rasa masygul, jangan-jangan ikrar pemuda pada 1928
sekarang sudah berganti baru, seperti yang diplesetkan oleh Silado dengan ‘satu
nusa satu bangsa dua languages’. Buntut-buntutnya akhirnya para bahasawan
membiarkan bebas masyarakat bahasa Indonesia mencipta kata sendiri, sehingga
anak saya yang baru belajar bahasa Indonesia pun jadi ikut capek, deh!
Mengacu kepada fakta itu, tampaknya sikap bahasa warga masyarakat kita
adalah salah satu faktor yang menentukan kegagalan dan keberhasilan pelaksanaan
kebijakan bahasa nasional. Pada dasarnya, kebijakan bahasa nasional adalah
pernyataan sikap nasional terhadap bahasa. Di dalam pelaksanaan kebijakan bahasa
nasional diperlukan adanya keseimbangan antara sikap bahasa dan perilaku bahasa,
antara sikap bahasa warga masyarakat baik sebagai perseorangan maupun sebagai
kelompok. Dalam hal ini, bagaimana kita memelihara identitas bahasa Indonesia
serta peningkatan kemampuan para pemakainya bila sikap para pemakai bahasa
Indonesia saat ini cenderung ‘mendua’. Dikatakan mendua karena kadang kosa kata
yang dipakai memang tidak bercita rasa murni Indonesia. Pada satu ketika si pemakai
menaburkan kata-kata Indonesia yang keasing-asingan, namun di ketika yang lain
kata-kata yang dipakai adalah asing yang keindonesia-indonesiaan. Inilah sikap yang
tidak memartabatkan bahasa nasional itu sendiri. Dengan demikian, ‘kesetiaan’
terhadap bahasa Indonesia mutlak merupakan kebanggaan identitas diri orang
Indonesia, bukan malah ‘loyal’ dengan centang-perenang istilah-istilah asing
sehingga istilah anak negeri akhirnya tergerus dari persaingan pemakaian kosa kata
sehingga tersusun rapi menjadi kata-kata yang nantinya dianggap arkaik.
Sumber:http://iwanfauzi.wordpress.com/2008/12/26/loyal-atau-setia-memartabatkan-bahasa-indonesia-lewat-kesetiaan-bukan-keloyalan/
Ketepatan pemakaian bahasa yang tinggi khazanah nilai keindonesiaannya
BalasHapusmerupakan tuntunan untuk menuju pemartabatan bahasa Indonesia itu sendiri.
Tidak saja dari segi fonologisnya tetapi juga segi leksikonnya hingga ungkapan
semantisnya. Bagi bangsa Indonesia yang menghadapi tantangan kesejagatan di
tatanan kemodernan segala aspek kehidupan, peningkatan mutu dan perilaku
kebahasaan yang menanamkan nilai nasionalisme adalah hal yang tidak dapat
ditawar-tawar lagi. Bangsa yang telah maju peradabannya ditandai tidak saja oleh
kemampuannya menguasai sumber daya alam, membangun industri tepat guna,
membuat alat transportasi dan sistem pelayanan jasa yang bermutu tinggi, tetapi
juga oleh tingginya daya ungkap bahasa yang dimilikinya.